Senin, 14 Maret 2011

CIRI KHAS PERILAKU BELAJAR

Setiap perilaku belajar selalu ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesifik. Karakteristik perilaku belajar ini dalam beberapa pustaka rujukan, antara lain Psikologi Pendidikan Oleh Surya (1982), disebut juga sebagai prinsip-prinsip belajar. Diantara ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar yang terpenting adalah:
1) Perubahan itu Intensional

perubahan yang terjadi dalam proses belajar ialah berkat pengalaman atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain bukan kebetulan. Karakteristik ini mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam dirinya, seperti bertambahnya pengetahuan, kebiasaan, sikap dan pandangan terhadap sesuatu, keterampilan dan lainnya. Maka dari itu, perubahan yang diakibatkan mabuk, gila, dan lelah tidak termasuk dalam karakteristik belajar, karena individu yang bersangkutan tidak menyadari keberadaannya.

2) Perubahan itu Positif dan Aktif

Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik, berguna, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu yang baru yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan sendirinya, seperti karena proses kematangan, akan tetapi karena proses itu sendiri.

3) Perubahan itu Efektif dan Fungsional

Perubahan yang timbul karena proses belajar bersifat efektif, yakni berguna. Yakni, perubahan tersebut membawa pengaruh, makna, manfaat tertentu bagi peserta didik. Selain itu, perubahan dalam proses belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberi manfaat yang luas (misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya).

Minggu, 13 Maret 2011

KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas area pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa.
Kurikulum dan pengajaran merupakan hal yang tidak terpisahkan walaupun keduanya memiliki posisi yang berbeda. Kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan tujuan pendidikan; serta isi yang harus dipelajari; sedangkan pengajaran adalah proses yang terjadi dalam interaksi belajar dan mengajar antara guru dan siswa. Dengan demikian, pendidikan tanpa kurikulum sebagai sebuah rencana, maka pembelajaran atau pengajaran tidak akan efektif; demikian juga tanpa pembelajaran atau pengajaran sebagai implementasi sebuah rencana, maka kurikulum tidak akan memiliki apa-apa.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang kita kenal dengan KTSP merupakan kurikulum yang dianjurkan oleh pemerintah untuk dikembangkan di setiap lembaga pendidikan formal sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Oleh sebab itu, setiap sekolah khususnya para kepala sekolah beserta guru perlu memahami baik secara teoretis maupun praktik pengembangan KTSP.
Kurikulum dan Pembelajaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai suatu rencana atau program, kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak diimplementasikan dalam bentuk pembelajaran. Demikian juga sebaliknya, tanpa kurikulum yang jelas sebagai acuan, maka pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif. “Without a curriculum or plan, the can be no effective instruction and without instruction the curriculum has little meaning”. (Saylor, Alexander & Lewis, 1981).
Persoalan bagaimana mengembangkan suatu kurikulum, ternyata bukanlah suatu hal yang mudah, serta tidak sederhana yang kita bayangkan. Dalam skala makro, kurikulum berfungsi sebagai suatu alat dan pedoman untuk mengantar peserta didik sesuai dengan harapan dan cita-cita masyarakat. Oleh karena itu, proses mendesain dan merancang suatu kurikulum mesti memperhatikan system nilai (value system) yang berlaku beserta perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat itu. Di samping itu, oleh karena kurikulum juga harus berfungsi mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh anak didik sesuai dengan bakat dan minatnya, maka proses pengembangannya juga harus memperhatikan segala aspek yang terdapat pada peserta didik. Persoalan-persoalan tersebut, yang mendorong begitu kompleksnya proses pengembangan kurikulum. Kurikulum secara terus menerus dievaluasi dan dikembangkan agar isi dan muatannya selalu relevan dengan tuntutan masyarakat yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.

Kamis, 10 Maret 2011

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DEMOKRASI DI INDONESIA

UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:
a. Pendidikan Pancasila
b. Pendidikan Agama Islam
c. Pendidikan Kewarganegaraan
Di Perguruan Tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan diejawantahkan salah satunya melalui mata kuliah Kewiraan yang diimplementasikan sejak UU No. 2/1989 diberlakukan sampai rezim orde baru runtuh.

Seiring dengan perkembangan dan perubahan politik dari era otoriterian ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidika Kewiraan dianggap sudah tidak relevan dengan semangat reformasi dan demokratisasi.

PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGAAN (CIVIC EDUCATION)

Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan menunjukkan bagaimana proses pendidikan berlangsung dan pada tahap berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praksis), paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu:
 Paradigma Feodalistik
Paradigma Feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan mempersiapkan peserta untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan sebagai objek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu, kebenaran dan informasi, berprilaku otoriter dan birokratis. Materi pembelajarn disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas peserta didik (mahasiswa) dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan termasuk manajemen pembelajaran bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam penerapan strategi pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter. Paradigma Feodalistik dalam praksis pendidikan telah berlangsung cukup lama dalam dunia pendidikan nasional mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
 Paradigma Humanistik
Paradigma Humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam pandangan ini peserta didik (mahasiswa) ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Model materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas pembelajaran yang hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut dengan global classroom. Begitu juga manajemen pendidikann dan pembelajarannya , menekankan pada dimensi desentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan demokratis. Untuk itu, kelas pembelajaran Pendidikan Kewargaan, dalam Istilah Udin S. Winataputra, diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi dimana semangat kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif.

Dalam situasi seperti itu, dosen dan mahasiswa secara bersama-sama mengembangkan dan memelihara iklim demokrasi. Implikasi dari paradigma humanistik tersebut, peserta didik (mahasiswa) dimungkinkan menjadi lulusan yang memiliki kreatifitas tinggi, kemandirian dan sikap toleransi yang tinggi, karena dalam proses pembelajaran telah tumbuh iklim dan kultur yang demokratis. Karenanya, orientasi Pendidikan Kewargaan (Civic Education), mulai dari pendidikan dasar sampai Pendidikan Tinggi, harus lebih menerapkan paradigma humanistic. Dengan paradigma humanistic, pengalaman belajar (learning experience) yang diterima peserta didik menjadi lebih bermakna dan menjadikan pengetahuan yang diperolehnya (learning to know) tersimpan dalam memori yang sejati dan menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah demokrasi, hak asasi manusia dan mayarakat madani (civil society).